Medan adalah kota metropolitan yang padat penduduk. Dengan luas 265 kilometer persegi, Kota Medan didiami oleh 2,6 juta penduduk (BPS Kota Medan, 2024) yang berstatus warga kota. Sementara warga komuter bisa mencapai 400 ribu orang (2019). Dengan demikian, kepadatan penduduk diperkirakan lebih dari 9.000 jiwa per kilometer persegi (BPS Kota Medan, 2024).
Kondisi demografi seperti ini melahirkan kebutuhan transportasi massal yang kian mendesak. Kemacetan adalah fenomena yang terjadi akibat banyaknya kenderaan pribadi dan angkutan umum berskala kecil di jalanan.
Data BPS Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2021 menunjukkan bahwa jumlah kendaraan penumpang yang terdata di Kota Medan ada lebih dari 42 ribu unit. Jika ditambah dengan sepeda motor dan bus, maka jumlahnya menjadi hampir 276 ribu unit. Jumlah ini terus bertambah setiap tahunnya.
Khusus angkutan umum kota, Dinas Perhubungan Kota Medan menyebut angka 9.644 unit pada tahun 2024. Jumlah itu terdiri dari 19 jenis angkutan dan melayani 194 rute. Jumlah ini masih ditambah lagi dengan kendaraan pribadi yang digunakan sebagai transportasi online.
Mebidangro
Sesungguhnya sulit menganalisis kondisi transportasi di Medan tanpa mengikutkan daerah satelit sebab mobilitas yang terjadi berputar di keempat daerah ini: Medan, Binjai, Deli Serdang, dan Karo. Ketiga daerah yang bersambung ini sering disingkat dengan Mebidangro.
Luas Mebidangro sendiri mencapai 2800 kilometer persegi dengan populasi sebanyak 4,8 juta jiwa dan kepadatan 16,7 ribu jiwa per kilometer persegi. Mobilitas terjadi secara konstan diantara keempat daerah ini setiap harinya.
Data dari North Sumatra Invest yang dikoordinasi oleh Bank Indonesia, menyebutkan bahwa rata-rata terjadi 4,8 juta perjalanan per hari di Mebidang. Setiap orang diperkirakan melakukan rata-rata 2 perjalanan per hari.
41% perjalanan untuk kebutuhan pekerjaan, 22% keperluan belanja, 13% pendidikan, dan sisanya keperluan lainnya. Mobilitas ini secara langsung mempengaruhi kebutuhan transportasi massal di Kota Medan.
BRT
Beberapa kajian menunjukkan bahwa model transportasi massal yang dinilai cocok dikembangkan di Medan adalah BRT atau Bus Rapid Transit. BRT adalah sistem transit massal berbasis bus yang memberikan mobilitas cepat, nyaman dan berbiaya relatif rendah.
Model ini dinilai sesuai dengan kondisi jalan di Medan yang umumnya tidak terlalu lebar, volume kendaraan yang cukup tinggi, ruang terbuka yang kecil, bangunan yang padat, dan kemampuan finansial pemerintah pun masyarakatnya. Kondisi ini memberi tantangan yang lebih besar untuk pengembangan model transportasi berbasis rel, baik di atas tanah, melayang, maupun di bawah tanah.
Itu sebabnya BRT menjadi model favorit di banyak kota di Dunia. Menurut World Resource Institute, ada 160 kota di dunia yang menerapkan sistem BRT. Diantaranya Bogota, Mexico City, Johannesburg, dan Istanbul.
BRT sendiri berbeda dengan bus angkutan umum biasa. BRT terintegrasi secara rute dan pembayaran secara elektronik. Idealnya BRT juga menggunakan koridor tersendiri, meskipun tidak seluruh perjalanan.
Rencana Investasi
Karena sulit memisahkan transportasi Medan dengan daerah sekitarnya, maka Pemerintah Kota Medan bersama Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dan Pemerintah Pusat telah merancang pengembangan BRT Mebidang.
Kabupaten Karo memang mempengaruhi secara signifikan terhadap mobilitas masyrakat di Medan namun secara fisik tidak berbatasan dengan Medan. Pengembangan BRT pun hanya direncanakan pada wilayah Mebidang saja yang tentunya mengakomodir warga komuter dari dan menuju Karo.
Pengembangan BRT Mebidang ini merupakan pelaksanaan dari program “Indonesia Mass Transit Project” (MASTRANS) yang dicanangkan pemerintah pusat. Program tersebut merupakan Major Project RPJMN 2020 – 2024 yakni Pembangunan Sistem Angkutan Umum Massal Perkotaan di 6 Wilayah Metropolitan (Jakarta, Bandung, Medan, Surabaya, Semarang, Makassar).
Proyek Mastrans BRT Mebidang telah resmi dimulai pada 19 April 2024 dengan rencana biaya sekitar 1,9 triliun rupiah. Proyek ini akan berlangsung hingga 2027 dengan membangun 21,13 kilometer koridor dari Terminal Amplas ke Terminal Pinang Baris. Selanjutnya akan diteruskan dengan pembangunan lima koridor lain hingga tahun 2035, dan empat koridor lagi sampai tahun 2040. Ada pun jenis bus akan diprioritaskan pada jenis bus listrik.
Perhitungan Net Present Value (NPV) diperkirakan mencapai lima tahun. Internal Rate of Return (IRR) berada diantara 12,5% hingga 25% tergantung besar tarif yang dikenakan. Sementara Benefit Cost Ratio (BCR) sebesar 1,005 hingga 1,07.
Dari rencana pengembangan BRT ini terbuka berbagai peluang investasi antara lain pengadaan kendaraan, operator bus, operator tiket, fasilitas dan pemeliharaan, periklanan, dan penamaan halte. Penyiapan infrastruktur sendiri direncanakan berasal dari APBN. (BS)